Thursday

Kasih Tetap Bertumbuh Setelah Dua Puluh Enam Tahun

Selama bertahun-tahun hidup bersama, secara perlahan kita telah membangun sejarah dan kedekatan yang tidak kita sadari –Erma Bombeck

“Siapa sih yang akan menikah kali ini?” bisik suamiku saat kami diantar menuju tempat duduk di gereja oleh anak muda berwajah serius.

Kami sudah membahas itu sedikitnya tiga kali. Pertama, ketika kutemukan amplop berkaligrafi di antara tumpukan selebaran yang biasa dikirim toko swalayan waktu suamiku itu duluan membuka kotak surat. Kemudian ketika ia menjatuhkannya dari tempat aku memajangnya, di pintu lemari es, dengan magnet. Selanjutnya beberapa hari lalu ketika kuberitahu dia bahwa kami tidak bisa menghadiri suatu acara pembukaan karena harus menghadiri undangan perkawinan rekan mengajarku.

Namun, aku tak begitu peduli kalau ia lupa nama yang tercetak timbul pada undangan itu. Setelah dua puluh tahun menikah dengannya, aku kenal betul, sekedar mengucapkan “perkawinan” saja sepertinya membuat memori suamiku itu mengalami gangguan.

Jadi, sembari duduk, aku menjawabnya dengan berbisik pula, “Guru computer dan anak laki-laki penginjil”.

“Kedengarannya seperti judul novel cinta yang biasa dibaca sambil treadmill di tempat olahraga”, gumamnya sambil duduk, barangkali diam-diam menghitung jumlah para wanita yang datang sendiri tanpa diantar suami, yang membiarkan suami-suami mereka yang cukup beruntung itu di rumah.

Irama organ, ditingkahi suara sopran dan aroma bunga memenuhi ruangan. Aku teringat hari perkawinanku sendiri, lengkap dengan kebahagiaan dan kecemasan yang menyertainya, yang membuat perutku melilit saat berdiri menunggu waktu untuk keluar. Dalam hati aku bertanya apakah sang mempelai wanita tengah sibuk menenangkan dirinya?

Aku tahu, mempelai laki-laki pasti berusaha keras menenangkan diri. Laki-laki pendiam itu memang tidak suka menjadi pusat perhatian dan menurut ibunya, membayangkan dirinya akan berdiri di hadapan empat ratus undangan saja sudah membuatnya cemas.

Ketika laki-laki tampan yang memakai tuxedo itu menuju altar, diikuti para pendamping, aku mencoba mencari tanda-tanda kekhawatiran. Tangan yang gemetar. Alis yang berkeringat. Kaki yang tidak bisa diam. Namun, yang kulihat justru senyum manis penuh kebahagiaan dari seorang laki-laki yang tengah menanti munculnya sang kekasih. Tanpa perlu mendengar irama ”Trumpet Voluntary” pun aku sudah tahu bahwa sang mempelai wanita sudah berdiri di depan pintu. Dari pancaran wajah mempelai pria, aku bisa melihat itu.

Saat kami semua brdiri untuk memberi penghormatan, ada perasaan iri menyelinap di hati. Sudah lama suamiku tak lagi memandangku dengan binar-binar seperti itu. Mungkin karena sudah dua puluh enam tahun menikah, batinku. Mungkin hari itu, saat kami mengucap janji, saat ia melihatku dalam balutan gaun putih dan tatapannya mengungkapkan ”Aku cinta padamu dan kau cantik sekali”, merupakan puncak dari perjalanan cinta kami, hal terbaik yang dapat kami raih. Dan mungkin binar-binar cinta itu lama-kelamaan terkubur seiring dengan perjuangan untuk mempertahankan perkawinan itu sendiri.

Dengan berhentinya alunan musik, wajah sang mempelai wanita yang penuh binar di balik kerudung putih bertatah mutiara itu menoleh ke ayahnya, lalu ke arah mempelai pria. Saat itulah sebutir air matamengalir di pipiku. Di bawah cahaya lilin, mereka benar-benar bagai pasangan sempurna yang digambarkan dalam novel-novel yang pernah diam-diam kubaca di pusat kebugaran.

Saat mempelai pria meraih tangan mempelai wanita, ada perasaan sedih dalam hati mengingat hilangnya cinta impian itu dalam hidupku. Aku ingin seperti mereka lagi - pasangan yang saling berhadapan, tak memedulikan hal-hal lain selain cinta mereka berdua. Ingin sekali kujumput sedikit keajaiban cinta murni itu dan menemukan kembali harapan, janji-janji dan segala kemungkinan yang ada – seperti dulu kurasakan bersama suamiku di hari pernikahan kami.

Tiba-tiba seakan dapat membaca pikiranku, suamiku menoleh dan berbisik ”Aku suka melihatmu memakai gaun itu, Kris”. Tatapannya begitu hangat, meluluhkan hatiku, sementara ibu jarinya membelai telapak tanganku seperti dua puluh enam tahun yang lalu saat kami berdiri di halaman bertebar aroma mawar dan ia katakan ”Saya bersedia”.

Aku sedikit bergeser mendekat dalam pelukannya, terkenang kembali janji perkawinan yang sudah lama kami ucapkan dan terus kami pegang dalam suka dan duka. Terlintas dalam kepalaku saat-saat kami saling menunjukkan hormat, dimana cinta menyatukan kami, dimana cinta dan komitmen menjadi fondasi bagi perkawinan kami.

Sekejap kemudian mempelai pria mencium pengantin wanita, lalu, dengan wajah berbinar-binar, mereka bergandengan menyusuri lorong gereja berhias untaian bunga...menyongsong malam bertabur bintang.

Dengan berlalunya mempelai wanita yang siap menyambut masa depannya, kudoakan kebahagiaan baginya. Tapi keinginan menjadi mempelai wanita sudah tak ada lagi dalam hatiku. Aku bahagia berada di tempatku yang sekarang ini. Bersama laki-laki yang kucintai. Sambil bergandengan, kami menyusul pengantin baru tadi menyambut malam yang kemilau – dan hari depan yang mnjanjikan cinta kasih – Kris Hamm Ross

Disalin dari Buku Chicken Soup for The Bride’s Soul – Ketika cinta menyatukan segalanya-